Rabu, 29 Desember 2010

Rabu, 29 Desember 2010, Untuk Ratri


Udara semakin dingin. Hujan pun tak kunjung reda. Kau dan aku terdiam disini, di gubuk di tengah sawah ini. Tiga hari lagi menjelang tahun baru. Namun hari-hari justru kian kelabu. Awan mendung kian sering menggulung,dan hujan semakin sering turun. Suatu ketika aku bertanya padamu :Ratri, tahukan kau mengapa Desember selalu kelabu? Dan kau menjawab, tidak tahu, dengan gelengan kepalamu. Aku berkata : Desember selalu kelabu, karena bumi sedang berkabung. Berkabung untuk masa-masa yang telah ia lewati, demi umur yang semakin bertambah, atau berkurang, tergantung bagaimana kau menghitungnya. Demi pengharapan yang sia-sia. Bumi tengah gundah. Gundah karena umurnya bertambah, sementara manusia semakin serakah, menjarah rayah apa yang telah ia pelihara dengan susah payah. Bumi sedang berduka. Berduka karena dirinya kian renta. Bumi sedang lusuh. Lusuh karena dirinya mulai rapuh. Namun kau masih bisa melihat secercah senyumnya. Kau bisa menemukannya memancar dari sela-sela jemari hujan ketika hujan reda. Sebuah lengkung bercahaya warna warni, kau dan aku menyebutnya pelangi. Kau mengerti apa yang kukatakan? Kau menjawab : iya, dengan anggukan Aku bertanya kepadamu : sudahkan kau menyiapkan sebuah kotak peti dari kayu dan sebuah kotak dari besi? Kau balik bertanya : untuk apa, dengan tatapan matamu yang menuntut penjelasan. Aku menjawab : gunakan kotak dari besi untuk menyimpan segala kenangan indah yang kau lalui bersamaku selamaini, agar kenangan itu terpatri abadi di hatimu. Dan gunakan kotak dari kayu untuk menyimpan segala kesedihan dan derita mu, agar kelak rapuh dan hilang seiring berjalannya waktu. Kau tidak menjawab, hanya tersenyum, dan menyandarkan kepalamu di pundakku. Hanya senyum, dalam sepi, yang kau berikan kepadaku. Sungguh aku mengharapkan sepatah kata dari mulutmu. Sekali saja. Dalam hidupku.